" A PERSON WHO NO MATTER HOW DESPERATE THE SITUATION,GIVES OTHERS HOPE,IS A TRUE LEADER "

Jumat, 20 Juni 2014

TERBANG

Setiap detik yang kulalui menambah pendek jarak antara aku dengan bumi. Kekuatan gravitasi yang dimiliki bumi sedikit demi sedikit membuat kecepatanku semakin bertambah. Aku semakin gugup. Aku semakin khawatir. Bisakah aku mendarat dengan sempurna di bumi? Bisakah aku memberikan jejak nyata yang tak akan pernah bumi lupakan? Bisakah aku bertahan melawan “keganasan” atmosfer? Bisakah aku tak melebur?
Semakin dekat aku dengannya membuatku semakin khawatir, namun kekhawatiran itu terkadang tertutup oleh kebahagiaan yang bergulung-gulung seperti ombak. Aku akan bersama bumi. Ya, tidak ada yang lebih membahagiakan selain itu.
Kini pengaruh gravitasi bumi semakin kuat pada kecepatan dan arah rotasiku. Aku sudah jauh semakin dekat.
Aku tahu bahaya apa yang aku hadapi. Aku bisa terbakar. Aku bisa kehilangan separuh dari massaku. Aku bisa saja mati, dikenang sebagai meteor nekat dan sinting. Aku tahu segala resikonya, segala kesakitannya. Tapi ini memang resiko, bukan? Aku harus siap untuk merasakan sakit. Aku mencintai bumi yang memiliki atmosfer yang selalu melindunginya. Bumi tak sendiri, meski dari jauh ia nampak sendiri. Aku siap untuk itu semua. Bahkan untuk suatu kemungkinan yang bisa saja terjadi dan sangat menyakitkan. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Bumi tak menginginkan hadirku.
Hari ini aku mulai mendengar kericuhan yang sedang terjadi di bumi. Para ilmuan antariksa mulai merisaukan keberadaanku. Mereka yang awalnya mengabaikan kini mulai resah. Mereka memastikan aku akan menghantam bumi. Aku tertawa mendengarnya, mereka lucu. Sangat lucu. Bagaimana bisa mereka mengatakan aku akan menghantam bumi? Menghantam. Coba perhatikan kata itu baik-baik. Kata “menghantam” terdengar sangat mengerikan, seolah-olah aku adalah antagonis yang keji. Mereka tidak tahu ini adalah perjalanan hati. Aku ingin berlabuh, bukan menghantam. Mereka tidak tahu betapa dalam tubuhku ada suatu yang meletup-letup ingin meledak dan tersampaikan. 
Cinta. Mereka tidak tahu itu. Mereka tidak mengerti dan aku tak peduli. Yang terpenting adalah aku dipastikan bisa sampai ke permukaan bumi.
Aku senang dengan kabar yang aku dengar. Tapi dari jauh terdengar teriakan teman-temanku, “hati-hati kau jatuh dalam lautan. Dia tak kalah ganas dibandingkan atmosfer”. Aku tahu 2/3 bagian bumi adalah lautan. Tapi aku tak tahu seganas apa lautan itu.
“Lautan akan menenggelamkanmu,” teriak mereka.
“Lautan memang berada dalam bumi, tapi ia akan menjauhkanmu dengan bumi,” sahut yang lain.
“Lautan akan membawamu dalam perut ikan hiu. Kau tahu itu, Bodoh?”
Sebenarnya apa itu lautan? Adakah ia tega memisahkanku dengan bumi? Tuhan, tolong aku. Aku tak mau jatuh ke dalam lautan. Jauhkan aku dari lautan. Jauhkan aku dari lautan. Aku mengulang kalimat itu berkali-kali hingga terdengar seperti mantera. Aku benar-benar ingin menghindari jatuh dalam lautan. Bukan karena segara cerita menyeramkan tentang lautan, tapi karena aku takut lautan menjauhkan aku dengan bumi.
“Kau harus menjauhi lautan jika ingin bertemu bumi,” nasihat Sahabatku.
“Bagaimana caranya aku bisa menghindari lautan?”
“Jangan sekali-kali kau jatuh dipermukaan berwarna biru. Biru itu lautan,” katanya lagi.
“Bagaimana aku bisa menghindari warna biru jika yang aku lihat di bumi semuanya berwarna biru? Bukankah bumi berotasi? Bagaimana aku bisa yakin aku tak akan mendarat di bagian bumi yang berwarna biru itu?” tanyaku gemas.
“Aku juga tidak tahu. Berdoalah.”
Aku mulai panik.
“Bagaimana mungkin aku bisa memastikan untuk tidak jatuh ke dalam lautan jika bumi terus berotasi? Kau tahu berapa kecepatan bumi berotasi? Itu membuatku sulit,” gerutuku.





Cikarang, 21 Juni 2014