Setiap detik yang kulalui menambah pendek jarak antara
aku dengan bumi. Kekuatan gravitasi yang dimiliki bumi sedikit demi sedikit
membuat kecepatanku semakin bertambah. Aku semakin gugup. Aku semakin khawatir. Bisakah aku mendarat dengan sempurna di bumi? Bisakah aku memberikan jejak
nyata yang tak akan pernah bumi lupakan? Bisakah aku bertahan melawan
“keganasan” atmosfer? Bisakah aku tak melebur?
Semakin dekat aku dengannya membuatku semakin khawatir,
namun kekhawatiran itu terkadang tertutup oleh kebahagiaan yang
bergulung-gulung seperti ombak. Aku akan bersama bumi. Ya, tidak ada yang lebih
membahagiakan selain itu.
Kini pengaruh gravitasi bumi semakin kuat pada kecepatan
dan arah rotasiku. Aku sudah jauh semakin dekat.
Aku tahu bahaya apa yang aku hadapi. Aku bisa terbakar.
Aku bisa kehilangan separuh dari massaku. Aku bisa saja mati, dikenang sebagai
meteor nekat dan sinting. Aku tahu segala resikonya, segala kesakitannya. Tapi
ini memang resiko, bukan? Aku harus siap untuk merasakan sakit. Aku mencintai
bumi yang memiliki atmosfer yang selalu melindunginya. Bumi tak sendiri, meski
dari jauh ia nampak sendiri. Aku siap untuk itu semua. Bahkan untuk suatu
kemungkinan yang bisa saja terjadi dan sangat menyakitkan. Cintaku bertepuk
sebelah tangan. Bumi tak menginginkan hadirku.
Hari ini aku mulai mendengar kericuhan yang sedang
terjadi di bumi. Para ilmuan antariksa mulai merisaukan keberadaanku. Mereka
yang awalnya mengabaikan kini mulai resah. Mereka memastikan aku akan
menghantam bumi. Aku tertawa mendengarnya, mereka lucu. Sangat lucu. Bagaimana
bisa mereka mengatakan aku akan menghantam bumi? Menghantam. Coba perhatikan
kata itu baik-baik. Kata “menghantam” terdengar sangat mengerikan, seolah-olah
aku adalah antagonis yang keji. Mereka tidak tahu ini adalah perjalanan hati.
Aku ingin berlabuh, bukan menghantam. Mereka tidak tahu betapa dalam tubuhku
ada suatu yang meletup-letup ingin meledak dan tersampaikan.
Cinta. Mereka
tidak tahu itu. Mereka tidak mengerti dan aku tak peduli. Yang terpenting
adalah aku dipastikan bisa sampai ke permukaan bumi.
Aku senang dengan kabar yang aku dengar. Tapi dari jauh
terdengar teriakan teman-temanku, “hati-hati kau jatuh dalam lautan. Dia tak
kalah ganas dibandingkan atmosfer”. Aku tahu 2/3 bagian bumi adalah lautan.
Tapi aku tak tahu seganas apa lautan itu.
“Lautan akan menenggelamkanmu,” teriak mereka.
“Lautan memang berada dalam bumi, tapi ia akan
menjauhkanmu dengan bumi,” sahut yang lain.
“Lautan akan membawamu dalam perut ikan hiu. Kau tahu
itu, Bodoh?”
Sebenarnya apa itu lautan? Adakah ia tega memisahkanku
dengan bumi? Tuhan, tolong aku. Aku tak mau jatuh ke dalam lautan. Jauhkan aku
dari lautan. Jauhkan aku dari lautan. Aku mengulang kalimat itu berkali-kali
hingga terdengar seperti mantera. Aku benar-benar ingin menghindari jatuh dalam
lautan. Bukan karena segara cerita menyeramkan tentang lautan, tapi karena aku
takut lautan menjauhkan aku dengan bumi.
“Kau harus menjauhi lautan jika ingin bertemu bumi,”
nasihat Sahabatku.
“Bagaimana caranya aku bisa menghindari lautan?”
“Jangan sekali-kali kau jatuh dipermukaan berwarna biru.
Biru itu lautan,” katanya lagi.
“Bagaimana aku bisa menghindari warna biru jika yang aku
lihat di bumi semuanya berwarna biru? Bukankah bumi berotasi? Bagaimana aku
bisa yakin aku tak akan mendarat di bagian bumi yang berwarna biru itu?”
tanyaku gemas.
“Aku juga tidak tahu. Berdoalah.”
Aku mulai panik.
“Bagaimana mungkin aku bisa memastikan untuk tidak jatuh
ke dalam lautan jika bumi terus berotasi? Kau tahu berapa kecepatan bumi berotasi?
Itu membuatku sulit,” gerutuku.
Cikarang, 21 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar